- Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional.
- Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
Pemerintahan Orde Lama
Sistem pemerintahan orde lama merupakan awal sejarah pemerintahan bangsa Indonesia. Pada masa orde lama inilah, bangsa kita baru memulai menata segala perihal aturan dalam mengelola negara. Saat itu, kita baru saja memproklamirkan diri menjadi negara merdeka meskipun belum bebas seratus persen dari kekuasaan penjajah. Maka, bisa dikatakan bahwa era pemerintahan orde lama menjadi cikal bakal pengaturan sistem untuk bangsa Indonesia.
Pemerintahan orde lama adalah pemerintahan negara Indonesia yang berlangsung di bawah pimpinan Soekarno. Pemerintahan orde lama berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga 1968.
Pada masa orde lama, ada 2 macam demokrasi yang sempat diberlakukan, yaitu demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.
1. Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Negara Indonesia adalah salah satu negara merdeka yang lahir setelah Perang Dunia II (17 Agustus 1945). Meskipun sebagai sebuah negara muda, negara Indonesia sudah memiliki perangkat-perangkat kenegaraan yang memadai. Saat itu, kita sudah memiliki UUD 1945 sebagai konstitusi negara, Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, Bendera Merah Putih sebagai bendera nasional, dan Presiden-Wakil Presiden Soekarno-Hatta. Perangkat ini kemudian dilengkapi pula dengan adanya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 29 Agustus 1945.
Semula fungsi KNIP adalah sebagai pembantu presiden, selanjutnya kemudian beralih menjadi DPR/MPR. Perjalanan berikutnya, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan partai politik. Sebagai realisasinya, pada November 1945 kabinet presidensial yang dipimpin presiden diganti oleh kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sultan Syahrir diangkat sebagai perdana menteri dalam kabinet parlementer ini.
Dengan demikian, kabinet presidensial berlaku dari Agustus-November 1945, sedangkan kabinet parlementer dari November 1945-Desember 1948. Pascaagresi militer Belanda II (19 Desember 1945), negara Indonesia terpecah belah dan mudah diadu domba dengan dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menerapkan sistem politik demokrasi liberal. Kedaulatan rakyat diserahkan kepada sistem multipartai sehingga muncul banyak partai di masyarakat. Akibatnya, suara rakyat terpecah-pecah ke dalam banyak partai dengan efek negatifnya adalah adanya sikap politik yang saling menjatuhkan antara partai yang satu dengan partai yang lainnya. Hal demikian sangatlah mungkin, mengingat pada masa itu tidak satupun partai besar yang memiliki suara lebih dari 50% sehingga umur kabinet di masa demokrasi liberal tidak berusia panjang.
Peristiwa jatuh bangunnya kabinet dapat dilihat dalam data berikut ini:
- Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
- Kabinet Soekiman-Soewiryo (27 April 1951 – 3 April 1952)
- Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
- Kabinet Ali Sastrowijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
- Kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1959)
- Kabinet Ali II (20 Maret 1955 – 14 Maret 1957), kabiner koalisi PNI, Masyumi, dan NU
- Kabinet Juanda (9 April 1957) merupakan zaken kabinet.
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo telah dipersiapkan pelaksanaan pemilu II pada 29 September 1955. Namu, justru kabinet tersebut menyerahkan mandatnya kepada presiden, kemudian dilanjutkan oleh kabinet Burhanudin Harahap. Pada masa kabinet inilah pemilu 1955 terlaksana, yang dinilai banyak kalangan sebagai satu pelaksanaan pemilu Indonesia yang bersih.
Jatuh bangunnya kabinet di era ini terus berlanjut hingga tahun 1959. Terjadi kekacauan di kalangan konstituante yang tiada berakhir mendorong Presiden Sokarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
2. Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 – 1965)
Setelah negara kesatuan Republik Indonesia selama hampir sembilan tahun menjalani sistem politik demokrasi liberal, rakyat Indonesia sadar bahwa sistem demokrasi tersebut tidak efektif. Ketidakcocokan sistem demokrasi liberal dengan sistem politik Indonesia ini bisa dilihat dari dua hal.
Pertama: Sistem demokrasi liberal bertentangan dengan nilai dasar Pancasila, khususnya sila ketiga dan keempat tentang persatuan Indonesia dan permusyawaratan yang dilandasi nilai hikmah kebijaksanaan.
Kedua: Adanya ketidakmampuan konstituante untuk menyelesaikan masalah-masalah ke-negaraan, khususnya tentang pengambilan keputusan mengenai UUD 1945. Konflik-konflik yang berkepanjangan ini sangat tidak menguntungkan bagi negara Indonesia.
Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan berakhir. Dekrit presiden diterima oleh rakyat dan didukung oleh TNI AD, serta dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, kedudukan DPR dan Presiden berada di bawah MPR.
Dekrit Presiden memuat ketentuan pokok yang meliputi:
- Menetapkan pembubaran konstituante.
- Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia.
- Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.
Sila keempat Pancasila yang menyatakan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” ditafsirkan sebagai sistem demokrasi terpimpin. Presiden Sokarno ketika itu mengatakan bahwa kata ‘terpimpin’ itu artinya dipimpin oleh seorang pemimpin atau penglima besar revolusi. Praktik sistem politik demokrasi terpimpin diwujudkan dalam kedudukan politik lembaga-lembaga negara. Menurut UUD 1945, Presiden berada di bawah MPR, namun dalam kenyataannya tunduk pada presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPR. Hal ini terlihat dari tindakan presiden lewat pengangkatan ketua MPR dari partai-partai besar (PNI dan NU) serta dari ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memiliki departemen. Hal ini menggambarkan bahwa presiden bisa berbuat apa saja terhadap lembaga tertinggi negara tersebut.
Bukti lain tentang adanya demokrasi terpimpin yang berpusat pada presiden adalah pengangkatan Presiden Soeharto menjadi presiden seumur hidup dalam Sidang Umum MPRS tahun 1963. Sebelumnya, pada 1960, DPR hasil pemilu dibubarkan oleh presiden dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyar Gotong Royong. Gagasan ini yang melanggengkan kedudukan presiden sebagai pemimpin besar revolusi, ialah mengusulkan prinsip NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Tahun 1965 merupakan antiklimaks kekuasaan demokrasi terpimpin. Pada September 1965 terjadi peristiwa besar, yaitu terbunuhnya tujuh Jendral TNI AD di Lubang Buaya Jakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan G/30S/PKI. Hal ini mengundang reaksi mahasiswa dan rakyat Indonesia yang menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dari jabatannya. Kemudian Mayjen Soeharto naik menjadi puncuk pimpinan Negara Republik Indonesia dengan sebutan Orde Baru (Orba).
Sumber:
Budiyanto, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI, Jakarta, Penerbit
Erlangga, 2007.