Minggu, 22 Mei 2016

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

Sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Adapun defenisi sengketa menurut beberapa ahli, diantaranya adalah :
1. Menurut Winardi,
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
2. Menurut Ali Achmad,
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang mana nantinya dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama dalam dunia ekonomi. mengingat kegiatan ekonomi khususnya bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat.
Perlu diketahui bahwa Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya Conflict Of Interestdiantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa ekonomi.
Contoh sengketa dalam ranah ekonomi adalah sengketa perniagaan pekerjaan, sengketa perbankan, sengketa perindustrian, sengketa konsumen dan lain-lain.

Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (Perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
  1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
  2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
  1. untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
  2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)

Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
  1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
  2. biaya tinggi (very expensive),
  3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
  4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.


Negosiasi
Negosiasi adalah suatu cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa melalui diskusi formal yang nantinya akan melahirkan perjanjian-perjanjian dimana perjanjian tersebut tidak memberatkan kedua-belah pihak.

Pola Perilaku dalam Negosiasi
  • Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
  • Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
  • Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
  • Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

Ketrampilan Negosiasi
  • Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
  • Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
  • Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
  • Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
  • Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

Ketrampilan Negosiasi
  • Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
  • Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
  • Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
  • Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
  • Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.


Mediasi
Yaitu metode penyelesaian sengketa melalui proses perundingan yang dibantu oleh pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan sama sekali dengan masalah tersebut untuk mengambil keputusan. maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung.,sehingga segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau consensus.
Prosedur Untuk Mediasi
1. Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2. Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3. Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
  • Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan
  • Mediator adalah pihak yang berperan sebagai penengah dalam memecahkan suatu sengketa.Mediator merupakan pihak yang netral,tidak memilih antara salah satu pihak.

Tugas Mediator
  • Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
  • Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
  • Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
  • Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.


Abitrase
Berasal dari bahasa Latin “Arbitrare”.Abitrase berarti menyerahkan sengketa kepada pihak ketiga(mediator) untuk memilih keputusan yang akan diambil.

Azas- Azas Arbitrase
1. Azas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
2. Azas musyawarah, yaitu melakukan musyawarah sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa.
3. Azas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase,.
4. Azas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi.

Tujuan Abitrase
Adapun tujuan abitrase antara lain adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil.

Perbandingan antara Perundingan, Arbitrasi, dan Ligitasi
Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Sedangkan, Ligitasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari Ligitasi adalah ruang lingkup pemeriksaannya luas karena mengghubungkan dengan lembaga-lembaga peradilan negara, biaya yang relatif lebih murah, cepat, dan tuntas. Jika ada kebaikan, maka ada kelemahan pula. Kelemahan dari Ligitasi adalah kurangnya kepastian hukum karena adanya hirearki peradilan negara, sehingga butuh waktu yang lama untuk bisa mencapai keputusan hukum yang tetap. Dan, dalam menyelesaikan masalah sengketa, hakim yang digunakan haruslah hakim yang pintar dan berpengalaman, sehingga, sengketa dapat dengan tuntas diselesaikan dalam waktu yang cepat.

Hampir sama seperti Ligitasi, Arbitrasi merupakan cara penyelesaian dimana ada pihak yang dimenangkan. Hanya saja, arbitrasi merupakan Ligitasi swasta dimana yang memeriksa kasus adalah seorang arbiter bukan hakim. Kelebihan dari Arbitrasi adalah lebih bisa dipercaya karena arbiter terpilih oleh pihak yang bersengketa. Arbiter yang dipercayakan merupakan arbiter yang ahli dalam bidangnya sehingga keputusan yang dihasilkan akan lebih cermat, seperti dalam UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrasi atau Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa untuk menjadi Arbiter harus berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Selain itu keputusan hukum lebih terjamin karena arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. kelemahan dari Arbitrasi adalah biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah), putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Selain itu, ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).

Sumber:

Selasa, 03 Mei 2016

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pengertian Konsumen
Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK), Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangakan pengertian Perlindungan Konsumen (Pasal 1 ayat 1) adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Azas dan Tujuan
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
1.      Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.      Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3.      Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sedangkan tujuan perlindungan konsumen menurut Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen yaitu:

  •  meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  • mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
  • meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak­haknya sebagai konsumen;
  • menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  • menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  • meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen menurut Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen adalah :
  • hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Halaman 4 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
  • hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  • hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-­undangan lainnya.
Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah:

  • membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  • beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  • membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  • mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha menurut Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen adalah:

  • hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  • hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; Halaman 5 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
  • hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
  • hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  • hak­-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-­undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen adalah :

  • beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  • memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  • memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  • memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  • memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  • memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.      larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
  1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
  8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
  9. berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
  10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
Ayat  2:  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat 3:  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
Ayat 4:  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat 4 tidak mengatur pelanggaran ayat 3. Ternyata untuk pelanggaran ayat 3, diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.

Klausula Baku dalam Perjanjian
Klausula Baku diartikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat­-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai “standard contract atau take it or leave it contract”

Dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian, maka konsumen tidak dapat lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika dilihat dari hal ini, maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.

Dengan menerapkan klausula baku ini, pihak pembuat kontrak sering kali menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat ketentuan–ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Terlebih jika posisi tawar antara para pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah akan dirugikan dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan bagi konsumen dalam keadaan–keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam aturan–aturan dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen.   

Dalam UUPK ini diatur mengenai hal-hal apa saja yang dilarang bagi seorang pelaku usaha. Dalam pasal 18 UUPK disebutkan bahwa :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
  1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
  3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
  4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan pihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
  6. kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
  7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
  8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain hal tersebut pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Hal seperti ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha di bidang telekomunikasi, dimana sering kali terdapat tanda bintang dibawah dengan tulisan yang kecil sekali yang menyatakan “syarat dan ketentuan berlaku”. Sebetulnya yang dilarang oleh UUPK ini bukanlah mengenai ada atau tidaknya tanda “syarat dan ketentuan berlaku”, namun yang dilarang adalah keadaan dimana akibat tulisan yang kecil tersebut membuat konsumen menjadi tidak ada  ketentuan seperti itu. Karena itu, jika tulisan seperti itu masih dapat dilihat dengan jelas oleh konsumen, hal tersebut tidaklah melanggar ketentuan dalam UUPK ini. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai Klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Pencantuman klausula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum. 

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah. 

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha
      Pada umumnya pertanggungjawaban pelaku usaha yang di atur dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengakomodir prinsip-prinsip pertanggungjawaban moderen yang lebih dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen, seperti Prinsip pertanggung jawaban mutlak, Asas pembuktian terbalik, product liability, profesional liability.

      Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut:
      Pasal 19
     Pasal 19 UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen karena mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1) UUPK).
  • Ganti kerugian yang dapat diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (2).
  • Tenggang waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19 ayat (3).
  • Pemberian ganti kerugian tersebut ridak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (Pasal 19 ayat (4) UUPK ).
  • Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (Pasal 19 ayat (5) UUPK).

Pasal 20
Pasal 20 UUPK menegaskan tanggung jawab pelaku usaha periklanan atas iklan yang diproduksinya dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21
Pasal 21 UUPK menetapkan tanggung jawab importir mengenai barang/atau jasa yang dipasarkannya :
  • Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukab oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri (Pasal 21 ayat (1) UUPK).
  • Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing, apabila jasa asing tersebut todak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing (Pasal 21 ayat (2) UUPK).

Pasal 22
Pasal 22 UUPK menetapkan pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23
Pasal 23 UUPK menetapkan bagi pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24
Pasal 24 ayat (1) UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
·  Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;
·      Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Pasal 24 ayat (2) : pelaku usaha sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25

  • Pasal 25 ayat (1) UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dalam jangka waktu 1 (satu) tahun bagi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan, serta wajib untuk memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
  • Dalam ayat (2) Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, atau tidak/gagal memenuhi jaminan atau garansi yang dijanjikan.

Pasal 26
Pasal 26 UUPK menegaskan kewajiban pelaku usaha yang memperdagangkan jasa  untuk memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.

Pasal 27
Pasal 27 UUPK menetapkan hal-hal yang dapat membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, apabila :

  • Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
  • Cacat barang timbul di kemudian hari;
  • Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
  • Kelalaian yang diakibatkan konsumen;
  • Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28
Pasal 28 UUPK kembali ditegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Sanksi
Sanksi Perdata:
- Ganti rugi dalam bentuk:
·  Pengembalian uang atau
·  Penggantian barang atau
·  Perawatan kesehatan, dan/atau
·  Pemberian santunan

-  Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
Sanksi Administrasi
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana
- Kurungan :
· Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
· Penjara, 2 tahun, atau denda Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
· Pengumuman keputusan Hakim
· Pencabutan izin usaha
· Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
· Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa
· Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat

Sumber: