Kamis, 29 Juni 2017

Perlindungan Konsumen dan Macam-Macam Hak Asasi Manusia

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pengertian Konsumen
Menurut Pasal 1 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangankan pengertian Perlindungan Konsumen (Pasal 1 ayat 1) adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Azas dan Tujuan
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
1.      Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.      Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3.      Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sedangkan tujuan perlindungan konsumen menurut Pasal 3 UU Perlindunga Konsumen yaitu:
a.    meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.    mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.    meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak­haknya sebagai konsumen;
d.   menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.    menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.     meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen menurut Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen adalah :
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Halaman 4 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c.     hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.     hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.    hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.      hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­undangan lainnya.

Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah:
a.    membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.    beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.     membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.    mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha menurut Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen adalah:
a.  hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.  hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; Halaman 5 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.    hak­-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen adalah :
a.    beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.    memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.    memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.   menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.    memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.      larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1.      tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.    tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3.    tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4.    tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5.  tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6.   tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7.   tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8.  tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
9.   tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
10.  tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
Ayat  2 :  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat 3 :  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
Ayat 4:  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat 4 tidak mengatur pelanggaran ayat 3. Ternyata untuk pelanggaran ayat 3, diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.

Klausula Baku dalam Perjanjian
Klausula Baku diartikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat­-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai “standard contract atau take it or leave it contract”

Dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian, maka konsumen tidak dapat lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika dilihat dari hal ini, maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.

Dengan menerapkan klausula baku ini, pihak pembuat kontrak sering kali menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat ketentuan–ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Terlebih jika posisi tawar antara para pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah akan dirugikan dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan bagi konsumen dalam keadaan–keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam aturan–aturan dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen.   

Dalam UUPK ini diatur mengenai hal-hal apa saja yang dilarang bagi seorang pelaku usaha. Dalam pasal 18 UUPK disebutkan bahwa :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1.    Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2.    Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3.    Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4.    Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5.    Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6.    Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7.    Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8.    Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain hal tersebut pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Hal seperti ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha di bidang telekomunikasi, dimana sering kali terdapat tanda bintang dibawah dengan tulisan yang kecil sekali yang menyatakan “syarat dan ketentuan berlaku”. Sebetulnya yang dilarang oleh UUPK ini bukanlah mengenai ada atau tidaknya tanda “syarat dan ketentuan berlaku”, namun yang dilarang adalah keadaan dimana akibat tulisan yang kecil tersebut membuat konsumen menjadi tidak ada  ketentuan seperti itu. Karena itu, jika tulisan seperti itu masih dapat dilihat dengan jelas oleh konsumen, hal tersebut tidaklah melanggar ketentuan dalam UUPK ini. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai Klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum. 

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah. 

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha
      Pada umumnya pertanggungjawaban pelaku usaha yang di atur dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengakomodir prinsip-prinsip pertanggungjawaban moderen yang lebih dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen, seperti Prinsip pertanggung jawaban mutlak, Asas pembuktian terbalik, product liability, profesional liability.

      Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut:
      Pasal 19
·      Pasal 19 UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen karena mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1) UUPK).
·      Ganti kerugian yang dapat diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (2).
·      Tenggang waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19 ayat (3).
·      Pemberian ganti kerugian tersebut ridak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (Pasal 19 ayat (4) UUPK ).
·      Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (Pasal 19 ayat (5) UUPK).

Pasal 20
Pasal 20 UUPK menegaskan tanggung jawab pelaku usaha periklanan atas iklan yang diproduksinya dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21
Pasal 21 UUPK menetapkan tanggung jawab importir mengenai barang/atau jasa yang dipasarkannya :
·       Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukab oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri (Pasal 21 ayat (1) UUPK).
·      Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing, apabila jasa asing tersebut todak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing (Pasal 21 ayat (2) UUPK).

Pasal 22
Pasal 22 UUPK menetapkan pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23
Pasal 23 UUPK menetapkan bagi pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24
Pasal 24 ayat (1) UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
·      Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;
·      Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Pasal 24 ayat (2) : pelaku usaha sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25
·      Pasal 25 ayat (1) UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dalam jangka waktu 1 (satu) tahun bagi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan, serta wajib untuk memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
·      Dalam ayat (2) Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, atau tidak/gagal memenuhi jaminan atau garansi yang dijanjikan.

Pasal 26
Pasal 26 UUPK menegaskan kewajiban pelaku usaha yang memperdagangkan jasa  untuk memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.

Pasal 27
Pasal 27 UUPK menetapkan hal-hal yang dapat membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, apabila :
·      Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
·      Cacat barang timbul di kemudian hari;
·       Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·      Kelalaian yang diakibatkan konsumen;
·      Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28
Pasal 28 UUPK kembali ditegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Sanksi
Sanksi Perdata:
- Ganti rugi dalam bentuk:
· Pengembalian uang atau
· Penggantian barang atau
· Perawatan kesehatan, dan/atau
· Pemberian santunan

-  Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.

Sanksi Administrasi
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana
- Kurungan :
· Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
· Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
· Pengumuman keputusan Hakim
· Pencabuttan izin usaha
· Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
· Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa
· Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat


CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN

Tipu Pelanggan, 8 Restoran Sushi Didenda Rp. 267 Juta

Liputan6.com, San Diego - Delapan restoran sushi mendapatkan putusan pidana penipuan karena mereka mengiklankan menu sushi berisi lobster, namun ternyata isinya bukan lobster.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) San Diego mendasarkan keputusan ini setelah peyidikan terkait kasus “kejujuran menu”.
Dikutip dari NBC pada Kamis (10/12/2015), satuan perlindungan konsumen di bawah kejaksaan, Consumer and Environmental Protection Unit, membeli sejumlah sushi gulungan dari sejumlah restoran di San Diego yang mengaku menunya berisi lobster.
Para penyidik kemudian mengirimkan contoh makanan ke laboratorium untuk menjalani uji DNA dan memastikan bahwa jenis daging yang berada di dalam makanan itu berasal dari daging mahluk laut yang harganya lebih murah.
Dalam kunjungan lanjutan ke pelaku usaha, penyidik dari pemkot dan California Department of Fish and Wildlife tidak menemukan adanya lobster di restoran-restoran tersebut.
“Masyarakat harus bisa mengandalkan kejujuran dalam iklan dari siapapun yang melakukan bisnis di San Diego. Layanan jujur kepada konsumen bukan hanya mematuhi peraturan, tapi itu merupakan bisnis yang baik,” kata Jaksa Jan Goldsmith melalui terbitan resmi.
“Kantor kami akan melanjutkan mendakwa bisnis yang membohongi konsumen mereka," lanjutnya. 
Menurut kejaksaan kota, tiap-tiap bisnis yang telah tebukti bersalah telah mengganti menu dan iklannya untuk menunjukkan isi makanan mereka.
Delapan restoran itu secara bersama membayar denda sebesar US$14.000—senilai hampir Rp 196 juta— ditambah dengan biaya penyidikan sebesar US$5.000, hampir Rp 70 juta.
Pihak NBC7 berupaya menghubungi sejumlah restoran it. Satu restoran berdalih bahwa mahluk laut yang dipakainya dikenal sebagai lobster di tempat-tempat di luar AS.
Satu restoran lagi mengatakan bahwa mereka diselidiki sewaktu restorannya di bawah pemilik yang lama. Pemilik sekarang telah mengganti nama menu dan menerangkan bahwa mereka menggunakan daging mahluk laut yang bukan lobster.

Lima Kasus Maskapai Penerbangan yang Dibawa Ke Pengadilan
Hubungan antara penumpang dengan maskapai penerbangan tentunya dilandaskan pula pada hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban penumpang ialah membayar tiket pesawat. Setelah itu baru muncul hak-hak penumpang yang wajib dipenuhi maskapai. Sayangnya, tak jarang perusahaan penerbangan justru melalaikan kewajibannya.

Seringkali, kita dengar omongan dari mulut ke mulut hingga keluhan penumpang di rubrik surat pembaca media massa. Namun, langkah penumpang tak hanya “menggerutu”, tetapi bagi yang mengerti hukum, ada juga yang melayangkan gugatan ke pengadilan. 

Berikut lima putusan perkara tersebut:

1.        Pesawat Delay, Penumpang Harus Terima?
Hampir delapan tahun silam, salah seorang penumpang maskapai penerbangan Wings Air, anak perusahaan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), David Tobing, berjuang menuntut ganti rugi karena penundaan jadwal yang dialaminya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 309/PDT.G/2007/PN.Jkt.Pst.
 
David yang berprofesi sebagai advokat dan kerap menangani kasus-kasus perlindungan konsumen, pada 16 Agustus 2007 hendak melakukan perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri persidangan menggunakan Wings Air IW 8985 keberangkatan pukul 08.35 WIB. Setelah sejam menunggu, David diberitahu petugas bahwa keberangkatan pesawatnya akan terlambat selama 90 menit karena pesawat masih berada di Yogyakarta.
Namun, pegawai kantor tidak dapat memastikan jadwal tersebut. Ia hanya meminta maaf dan mengatakan kepada David bahwa keterlambatan adalah hal lumrah dan harus diterima semua penumpang. Merasa tidak dilayani dengan baik, David langsung mencari penerbangan lain menuju Surabaya.
 
Dalam persidangannya melawan perusahaan penyedia jasa penerbangan yang berlogokan singa dengan warna merah ini, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memenangkan David. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” sebut hakim dalam putusannya.

Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp718,500 dan biaya perkara Rp234,000. Hakim juga menyatakan klausula baku mengenai pengalihan tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan, batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2.        Bawaan Hilang dari Bagasi Pesawat
Kasus ini merupakan kasus barang bawaan penumpang yang hilang di bagasi pesawat. Awalnya, kasus ini diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menghukum PT Lion Menteri Airlines (Lion Air) untuk membayar ganti rugi atas hilangnya koper seberat 12 kilogram milik salah seorang penumpang, Herlina Sunarti dalam penerbangan rute Jakarta – Semarang pada 4 Agustus 2011.

Berdasarkan putusan BPSK No. 12/BPSK/Smg/Put/Arbitrase/X/2011, Lion Air harus membayar ganti rugi sejumlah Rp25 juta. Namun, Lion Air enggan membayar ganti rugi senilai jumlah tersebut. Lion Air mendalilkan kepada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Bila merujuk ke ketentuan tersebut, Lion Air hanya mengganti kerugian dengan nilai barang per kilogram sebesar Rp100,000 (seratus ribu rupiah), sehingga total yang dibayarkan kepada Herlina sebesar Rp1.200.000,00. Sebelumnya, BPSK hanya mendasarkan kepada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Majelis Hakim PN Semarang memutus untuk menolak permohonan Lion Air. Begitu pula upaya kasasi yang diajukan oleh Lion Air dalam perkara No. 605 K/Pdt.Sus-BPSK/2012ditolak oleh hakim.

3.        Kecelakaan Pesawat Sebab Pilot Lalai
Kelalaian pilot Singapore Airlines yang melaju di landasan pacu yang sedang dalam perbaikan membuat perusahaan penerbangan milik negara tetangga itu harus menanggung ganti kerugian yang besar di samping asuransi yang wajib menjadi tanggung jawab atas kecelakaan.
 
Sigit Suciptoyono merupakan salah satu penumpang yang selamat dari kecelakaan penerbangan rute Singapura – Los Angeles ini. Meski begitu, cacat akibat kecelakaan harus dipikul Sigit seumur hidup. Kecelakaan terjadi saat pesawat No. SQ-006 ini hendak lepas landas di Bandara Chiang Kai Sek (CKS), Taipei, Taiwan, menuju Los Angeles, Amerika. Pada malam 31 Oktober 2000, dalam kondisi hujan, pilot Singapore Airlines menerbangkan pesawat menggunakan landasan pacu yang ditutup. Akibat salah menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga menyebabkan 82 orang, termasuk 4 orang awak pesawat meninggal dunia.

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, melalui Putusan No. 908/PDT.G/2007/PN.Jak.Sel menghukum Singapore Airlines membayar ganti kerugian kepada Sigit sebesar Rp1 miliar. Putusan PN dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam putusan banding, Singapore Airlines harus bayar ganti rugi Rp1.5 miliar. Tak puas dengan putusan tersebut, Singapore Airlines mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, hal ini juga diikuti oleh Sigit.

Setelah mempertimbangkan memori kasasi dari kedua belah pihak, dalam putusan No. 1517K/Pdt/2009, majelis hakim agung yang memeriksa dan mengadili persidangan ini menolak seluruh permohonan kasasi.

4.        Pesawat Tak Sesuai Tiket
Perlu diperhatikan oleh penumpang pesawat, tiket bukanlah sekadar alat check inTiket pesawat merupakan bentuk perjanjian yang mengikat antara penumpang dengan maskapai penerbangan yang dipilihnya. Pesawat dan jadwal keberangkatan yang dipilih merupakan bagian prestasi yang harus dipenuhi oleh maskapai. Namun, cerita berbeda dialami oleh Mauliate Sitompul.
 
Cerita ini bermula ketika Mauliate membeli tiket perjalanan Denpasar – Lombok - Denpasar dengan menggunakan pesawat Lion Air. Saat check in tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai pesawat yang akan ditumpanginya. Hingga setelah menunggu cukup lama Mauliate bertanya kepada petugas soal waktu keberangkatan pesawat dengan nomor penerbangan JT 1852. Jawaban yang diterima Mauliate justru mengejutkannya. Petugas berkata bahwa tidak ada penerbangan Lion Air tujuan Lombok. Tiket pesawat tersebut berlaku untuk penerbangan Wings Air. “Pesawat Lion Air (Tergugat) dengan Wings Air satu grup usaha dan sama saja pak,” dalih petugas ketika Mauliate menuntut penjelasan.

Hal serupa terjadi kembali ketika dirinya hendak kembali ke Bali. Tiket Lion Air yang sudah dibelinya dicoret dan ditulis tangan menjadi penerbangan Pesawat Wings Air. Kadung alami cukup banyak kerugian karena Mauliate harus mengambil penerbangan lain menuju Lombok dan kesepakatan bernilai Rp500 juta tidak dapat dibuat dengan calon kliennya karena terlambat, pria yang berprofesi sebagai advokat ini menggugat Lion Air ke PN Jakarta Pusat.
 
Hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 441/PDT.G/2013/PN.Jkt.Pst menyatakan Lion Air bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp702,300 kepada Mauliate.

5.        Perlakuan Diskriminatif Terhadap Penyandang Cacat
Pasal 134 ayat (1) UU Penerbangan memberikan hak kepada penyandang cacat, orang lanjut usia, serta anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun agar memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus. Lalu bagaimana bila maskapai penerbangan mengabaikan hal ini?
 
Seorang pengguna kursi roda, Ridwan Sumantri, berkali-kali diacuhkan kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika hendak melakukan perjalanan ke Bali dari Jakarta, Ridwan yang menggunakan jasa angkutan udara dari PT Lion Mentari Airlines ini datang lebih awal untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah.
 
Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang pesawat yang awalnya diminta menunggu di GATE A-1 dipindahkan keberangkatannya melalui pintu keberangkatan GATE A-5. Saat itu petugas sibuk mengurusi penumpang yang dengan buru-buru menuju GATE A-5 dan tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain. Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift dan saat itu hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya menuruni tangga.
 
Tidak hanya itu, setibanya di kursi penumpang dengan cara digendong oleh petugas Lion Air dan disaksikan banyak mata, Ridwan kembali mendapat sorotan sebab ia berdebat dengan pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama penerbangan pada orang sakit. Ridwan yang awalnya tidak bersedia menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit, akhirnya menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi pusat perhatian penumpang lain.
 
Atas diskriminasi yang terjadi pada Ridwan, Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp25 juta (tanggung renteng dengan PT (Persero) Angkasa Pura II sebagai Tergugat II dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat III). Putusan ini dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 61/PDT/2014/PT.DKI. PT DKI menaikkan nilai ganti rugi menjadi Rp50 juta


HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelaktual dibagi menjadi dua bagian dimana dua golongan besar hak atas kekayaan intelektual tersebut, yakni:
1.    Hak Cipta ( copyright )
Hak cipta yaitu hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain untuk memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta : Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat 1).
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjuk keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra (Pasal 1 ayat 3)

2.    Hak Kekayaan Industri (industrial property right)
Yaitu hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi :
-Paten, yakni hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta di bidang teknologi. Hak ini memiliki jangka waktu (usia sekitar 20 tahun sejak dikeluarkan), setelah itu habis masa berlaku patennya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten: Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 ayat)
-Merk dagang, hasil karya, atau sekumpulan huruf, angka, atau gambar sebagai daya pembeda yang digunakan oleh individu atau badan hukum dari keluaran pihak lain.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek :
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan 
warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.(Pasal 1 Ayat 1)

3.    Hak atas Merek
Hak atas merek yaitu hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. (Pasal 3).

4.    Hak Desain Industri
Hak desain industri yakni perlindungan terhadap kreasi dua atau tiga dimensi yang memiliki nilai estetis untuk suatu rancangan dan spesifikasi suatu proses industri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri:
Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1). Hak desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit), yakni perlindungan hak atas rancangan tata letak di dalam sirkuit terpadu, yang merupakan komponen elektronik yang diminiaturisasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu: Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.(Pasal 1 Ayat 1).

5.    Desain Tata Letak
Desain Tata Letak yaitu kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. (Pasal 1 Ayat 2).
Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negera Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. (Pasal 1 Ayat 6).

6.    Rahasia Dagang
Rahasia dagang merupakan rahasia yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau individu dalam proses produksi.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang:
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. (Pasal 1 Ayat 1).
Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul berdasarkan Undang-Undang ini. (Pasal 1 Ayat 2)

7.    Varietas Tanaman.
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman,
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah perlindungan khusus yang diberikan Negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor PVT, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (Pasal 1 Ayat 1).
Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu. (Pasal 1 Ayat 2).
Varietas Tanaman adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis yang sama atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. (Pasal 1 Ayat 3).

Sumber: