PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Pengertian Konsumen
Menurut
Pasal 1 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen, Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Sedangankan
pengertian Perlindungan Konsumen (Pasal 1 ayat 1) adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Azas dan Tujuan
Perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa
penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua
pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang
kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus
memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di
Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta
pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat
memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini,
diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud
secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan
konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan
pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan
tujuan perlindungan konsumen menurut Pasal 3 UU Perlindunga Konsumen yaitu:
a. meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai
konsumen;
d. menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen menurut Pasal 4 UU
Perlindungan Konsumen adalah :
a. hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Halaman 4 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Kewajiban konsumen
menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah:
a. membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak
pelaku usaha menurut Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen adalah:
a. hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik; Halaman 5 UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha menurut Pasal
7 UU Perlindungan Konsumen adalah :
a. beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku
Usaha
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8
– 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3
kelompok, yakni:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam
kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam
kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan bagi pelaku usaha
periklanan (Pasal 17)
Ada
10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK,
yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
1. tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan berat bersih,
isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan
dalam label atau etiket barang tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi,
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,
etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas
barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label;
9. tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus di pasang/dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi
dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh
ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman
tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah
memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah.
Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki
itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga
memberikan larangan sebagai berikut:
Ayat 2 : Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat 3 : Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan
yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai
berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik
atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk
membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut
sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat
digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya
benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang
bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi
lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini
adalah:
Ayat 4: Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila
kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat 4 tidak mengatur pelanggaran
ayat 3. Ternyata untuk pelanggaran ayat 3, diatur melalui peraturan yang lebih
spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini
berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya
peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
Klausula Baku dalam Perjanjian
Klausula Baku diartikan sebagai
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”. Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai “standard
contract atau take it or leave it contract”.
Dengan telah dipersiapkan terlebih
dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian, maka konsumen tidak dapat
lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika dilihat dari hal ini,
maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.
Dengan menerapkan klausula baku ini,
pihak pembuat kontrak sering kali menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat
ketentuan–ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Terlebih jika posisi
tawar antara para pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah
akan dirugikan dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan
bagi konsumen dalam keadaan–keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam
aturan–aturan dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen.
Dalam UUPK ini diatur mengenai
hal-hal apa saja yang dilarang bagi seorang pelaku usaha. Dalam pasal 18 UUPK
disebutkan bahwa :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi obyek jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selain hal tersebut pelaku usaha
juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Hal seperti ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha di bidang
telekomunikasi, dimana sering kali terdapat tanda bintang dibawah
dengan tulisan yang kecil sekali yang menyatakan “syarat dan ketentuan
berlaku”. Sebetulnya yang dilarang oleh UUPK ini bukanlah mengenai ada atau
tidaknya tanda “syarat dan ketentuan berlaku”, namun yang dilarang adalah
keadaan dimana akibat tulisan yang kecil tersebut membuat konsumen menjadi
tidak ada ketentuan seperti itu. Karena itu, jika tulisan seperti itu
masih dapat dilihat dengan jelas oleh konsumen, hal tersebut tidaklah melanggar
ketentuan dalam UUPK ini. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha mengenai Klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat
dinyatakan batal demi hukum.
Pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak
para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi
ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku
tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan
cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut
sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini
dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling
banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak
hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam
dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha
yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pada umumnya pertanggungjawaban pelaku
usaha yang di atur dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengakomodir
prinsip-prinsip pertanggungjawaban moderen yang lebih dapat memberikan
perlindungan terhadap konsumen, seperti Prinsip pertanggung jawaban mutlak,
Asas pembuktian terbalik, product liability, profesional liability.
Bentuk-bentuk
pertanggungjawaban pelaku usaha dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut:
Pasal
19
· Pasal 19 UUPK
menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada
konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
karena mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1) UUPK).
· Ganti kerugian
yang dapat diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (2).
· Tenggang waktu
pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi (Pasal 19 ayat (3).
· Pemberian ganti
kerugian tersebut ridak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (Pasal 19 ayat
(4) UUPK ).
· Ketentuan
sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (Pasal
19 ayat (5) UUPK).
Pasal 20
Pasal 20
UUPK menegaskan tanggung jawab pelaku usaha periklanan atas iklan yang
diproduksinya dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
Pasal 21
UUPK menetapkan tanggung jawab importir mengenai barang/atau jasa yang
dipasarkannya :
· Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor
apabila importasi barang tersebut tidak dilakukab oleh agen atau perwakilan
produsen luar negeri (Pasal 21 ayat (1) UUPK).
· Importir jasa
bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing, apabila jasa asing tersebut
todak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing (Pasal 21
ayat (2) UUPK).
Pasal 22
Pasal 22 UUPK menetapkan
pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pasal 23 UUPK menetapkan bagi
pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Pasal 24
Pasal 24 ayat
(1) UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha yang menjual
barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila:
·
Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;
·
Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak
mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Pasal 24 ayat
(2) : pelaku usaha sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dibebaskan dari
tanggung jawab apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa
menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau
jasa tersebut.
Pasal 25
·
Pasal 25 ayat (1) UUPK mewajibkan
pelaku usaha untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun bagi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan,
serta wajib untuk memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
·
Dalam ayat
(2) Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan
atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, atau
tidak/gagal memenuhi jaminan atau garansi yang dijanjikan.
Pasal 26
Pasal 26 UUPK menegaskan
kewajiban pelaku usaha yang memperdagangkan jasa untuk memenuhi jaminan
dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.
Pasal 27
Pasal 27 UUPK menetapkan
hal-hal yang dapat membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh konsumen, apabila :
·
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau
tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
·
Cacat barang timbul di kemudian hari;
·
Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·
Kelalaian yang diakibatkan konsumen;
·
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak
barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pasal 28 UUPK kembali
ditegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Sanksi
Sanksi Perdata:
- Ganti rugi dalam bentuk:
· Pengembalian uang atau
· Penggantian barang atau
· Perawatan kesehatan, dan/atau
· Pemberian santunan
- Ganti rugi diberikan dalam tenggang
waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
Sanksi Administrasi
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui
BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana
- Kurungan :
· Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1)
huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
· Penjara, 2 tahun, atau denda
Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan
17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999
tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
Hukuman tambahan , antara lain :
· Pengumuman keputusan Hakim
· Pencabuttan izin usaha
· Dilarang memperdagangkan barang dan
jasa
· Wajib menarik dari peredaran barang
dan jasa
· Hasil Pengawasan disebarluaskan
kepada masyarakat
CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN
Tipu Pelanggan,
8 Restoran Sushi Didenda Rp. 267 Juta
Liputan6.com, San Diego - Delapan restoran sushi
mendapatkan putusan pidana penipuan karena mereka mengiklankan menu sushi
berisi lobster, namun ternyata isinya bukan lobster.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) San Diego mendasarkan keputusan ini setelah
peyidikan terkait kasus “kejujuran menu”.
Dikutip dari NBC pada
Kamis (10/12/2015), satuan perlindungan konsumen di bawah kejaksaan, Consumer
and Environmental Protection Unit, membeli sejumlah sushi gulungan dari
sejumlah restoran di San Diego yang mengaku menunya berisi lobster.
Para penyidik kemudian mengirimkan contoh makanan ke laboratorium untuk
menjalani uji DNA dan memastikan bahwa jenis daging yang berada di dalam
makanan itu berasal dari daging mahluk laut yang harganya lebih murah.
Dalam kunjungan lanjutan ke pelaku usaha, penyidik dari pemkot dan
California Department of Fish and Wildlife tidak menemukan adanya lobster di
restoran-restoran tersebut.
“Masyarakat harus bisa mengandalkan kejujuran dalam iklan dari siapapun
yang melakukan bisnis di San Diego. Layanan jujur kepada konsumen bukan hanya
mematuhi peraturan, tapi itu merupakan bisnis yang baik,” kata Jaksa Jan
Goldsmith melalui terbitan resmi.
“Kantor kami akan melanjutkan mendakwa bisnis yang membohongi konsumen
mereka," lanjutnya.
Menurut
kejaksaan kota, tiap-tiap bisnis yang telah tebukti bersalah telah mengganti
menu dan iklannya untuk menunjukkan isi makanan mereka.
Delapan restoran itu secara bersama membayar denda sebesar
US$14.000—senilai hampir Rp 196 juta— ditambah dengan biaya penyidikan sebesar
US$5.000, hampir Rp 70 juta.
Pihak NBC7 berupaya menghubungi sejumlah restoran it. Satu restoran
berdalih bahwa mahluk laut yang dipakainya dikenal sebagai lobster di
tempat-tempat di luar AS.
Satu restoran lagi mengatakan bahwa mereka diselidiki sewaktu restorannya di bawah pemilik yang lama.
Pemilik sekarang telah mengganti nama menu dan menerangkan bahwa mereka menggunakan
daging mahluk laut yang bukan lobster.
Lima Kasus Maskapai
Penerbangan yang Dibawa Ke Pengadilan
Hubungan antara penumpang
dengan maskapai penerbangan tentunya dilandaskan pula pada hak dan kewajiban.
Salah satu kewajiban penumpang ialah membayar tiket pesawat. Setelah itu baru
muncul hak-hak penumpang yang wajib dipenuhi maskapai. Sayangnya, tak jarang
perusahaan penerbangan justru melalaikan kewajibannya.
Seringkali, kita dengar
omongan dari mulut ke mulut hingga keluhan penumpang di rubrik surat pembaca
media massa. Namun, langkah penumpang tak hanya “menggerutu”, tetapi bagi yang
mengerti hukum, ada juga yang melayangkan gugatan ke pengadilan.
Berikut lima putusan perkara
tersebut:
1.
Pesawat Delay,
Penumpang Harus Terima?
Hampir delapan tahun silam,
salah seorang penumpang maskapai penerbangan Wings Air, anak perusahaan PT Lion
Mentari Airlines (Lion Air), David Tobing, berjuang menuntut ganti rugi karena penundaan jadwal yang
dialaminya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 309/PDT.G/2007/PN.Jkt.Pst.
David yang berprofesi sebagai advokat dan kerap menangani kasus-kasus perlindungan konsumen, pada 16 Agustus 2007 hendak melakukan perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri persidangan menggunakan Wings Air IW 8985 keberangkatan pukul 08.35 WIB. Setelah sejam menunggu, David diberitahu petugas bahwa keberangkatan pesawatnya akan terlambat selama 90 menit karena pesawat masih berada di Yogyakarta.
David yang berprofesi sebagai advokat dan kerap menangani kasus-kasus perlindungan konsumen, pada 16 Agustus 2007 hendak melakukan perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri persidangan menggunakan Wings Air IW 8985 keberangkatan pukul 08.35 WIB. Setelah sejam menunggu, David diberitahu petugas bahwa keberangkatan pesawatnya akan terlambat selama 90 menit karena pesawat masih berada di Yogyakarta.
Namun, pegawai kantor tidak
dapat memastikan jadwal tersebut. Ia hanya meminta maaf dan mengatakan kepada
David bahwa keterlambatan adalah hal lumrah dan harus diterima semua penumpang.
Merasa tidak dilayani dengan baik, David langsung mencari penerbangan lain
menuju Surabaya.
Dalam persidangannya melawan perusahaan penyedia jasa penerbangan yang berlogokan singa dengan warna merah ini, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memenangkan David. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” sebut hakim dalam putusannya.
Dalam persidangannya melawan perusahaan penyedia jasa penerbangan yang berlogokan singa dengan warna merah ini, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memenangkan David. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” sebut hakim dalam putusannya.
Hakim menghukum Lion Air
membayar ganti rugi sebesar Rp718,500 dan biaya perkara Rp234,000. Hakim juga
menyatakan klausula baku mengenai pengalihan tanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan, batal demi
hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2.
Bawaan Hilang
dari Bagasi Pesawat
Kasus ini merupakan kasus
barang bawaan penumpang yang hilang di bagasi pesawat. Awalnya, kasus ini
diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menghukum PT
Lion Menteri Airlines (Lion Air) untuk membayar ganti rugi atas hilangnya koper
seberat 12 kilogram milik salah seorang penumpang, Herlina Sunarti dalam
penerbangan rute Jakarta – Semarang pada 4 Agustus 2011.
Berdasarkan putusan BPSK No. 12/BPSK/Smg/Put/Arbitrase/X/2011, Lion Air harus membayar ganti rugi sejumlah Rp25 juta. Namun, Lion Air enggan membayar ganti rugi senilai jumlah tersebut. Lion Air mendalilkan kepada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Bila merujuk ke ketentuan tersebut, Lion Air hanya mengganti kerugian dengan nilai barang per kilogram sebesar Rp100,000 (seratus ribu rupiah), sehingga total yang dibayarkan kepada Herlina sebesar Rp1.200.000,00. Sebelumnya, BPSK hanya mendasarkan kepada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Majelis Hakim PN Semarang memutus untuk menolak permohonan Lion Air. Begitu pula upaya kasasi yang diajukan oleh Lion Air dalam perkara No. 605 K/Pdt.Sus-BPSK/2012ditolak oleh hakim.
3.
Kecelakaan
Pesawat Sebab Pilot Lalai
Kelalaian pilot Singapore
Airlines yang melaju di landasan pacu yang sedang dalam perbaikan membuat
perusahaan penerbangan milik negara tetangga itu harus menanggung ganti
kerugian yang besar di samping asuransi yang wajib menjadi tanggung jawab atas
kecelakaan.
Sigit Suciptoyono merupakan salah satu penumpang yang selamat dari kecelakaan penerbangan rute Singapura – Los Angeles ini. Meski begitu, cacat akibat kecelakaan harus dipikul Sigit seumur hidup. Kecelakaan terjadi saat pesawat No. SQ-006 ini hendak lepas landas di Bandara Chiang Kai Sek (CKS), Taipei, Taiwan, menuju Los Angeles, Amerika. Pada malam 31 Oktober 2000, dalam kondisi hujan, pilot Singapore Airlines menerbangkan pesawat menggunakan landasan pacu yang ditutup. Akibat salah menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga menyebabkan 82 orang, termasuk 4 orang awak pesawat meninggal dunia.
Sigit Suciptoyono merupakan salah satu penumpang yang selamat dari kecelakaan penerbangan rute Singapura – Los Angeles ini. Meski begitu, cacat akibat kecelakaan harus dipikul Sigit seumur hidup. Kecelakaan terjadi saat pesawat No. SQ-006 ini hendak lepas landas di Bandara Chiang Kai Sek (CKS), Taipei, Taiwan, menuju Los Angeles, Amerika. Pada malam 31 Oktober 2000, dalam kondisi hujan, pilot Singapore Airlines menerbangkan pesawat menggunakan landasan pacu yang ditutup. Akibat salah menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga menyebabkan 82 orang, termasuk 4 orang awak pesawat meninggal dunia.
Majelis Hakim PN Jakarta
Selatan, melalui Putusan No. 908/PDT.G/2007/PN.Jak.Sel menghukum Singapore
Airlines membayar ganti kerugian kepada Sigit sebesar Rp1 miliar. Putusan PN
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam putusan banding, Singapore
Airlines harus bayar ganti rugi Rp1.5 miliar. Tak puas dengan putusan tersebut,
Singapore Airlines mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, hal ini juga diikuti
oleh Sigit.
Setelah mempertimbangkan
memori kasasi dari kedua belah pihak, dalam putusan No. 1517K/Pdt/2009, majelis hakim agung yang memeriksa dan mengadili
persidangan ini menolak seluruh permohonan kasasi.
4.
Pesawat Tak
Sesuai Tiket
Perlu diperhatikan oleh
penumpang pesawat, tiket bukanlah sekadar alat check in. Tiket pesawat merupakan bentuk perjanjian yang mengikat antara
penumpang dengan maskapai penerbangan yang dipilihnya. Pesawat dan jadwal
keberangkatan yang dipilih merupakan bagian prestasi yang harus dipenuhi oleh
maskapai. Namun, cerita berbeda dialami oleh Mauliate Sitompul.
Cerita ini bermula ketika Mauliate membeli tiket perjalanan Denpasar – Lombok - Denpasar dengan menggunakan pesawat Lion Air. Saat check in tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai pesawat yang akan ditumpanginya. Hingga setelah menunggu cukup lama Mauliate bertanya kepada petugas soal waktu keberangkatan pesawat dengan nomor penerbangan JT 1852. Jawaban yang diterima Mauliate justru mengejutkannya. Petugas berkata bahwa tidak ada penerbangan Lion Air tujuan Lombok. Tiket pesawat tersebut berlaku untuk penerbangan Wings Air. “Pesawat Lion Air (Tergugat) dengan Wings Air satu grup usaha dan sama saja pak,” dalih petugas ketika Mauliate menuntut penjelasan.
Cerita ini bermula ketika Mauliate membeli tiket perjalanan Denpasar – Lombok - Denpasar dengan menggunakan pesawat Lion Air. Saat check in tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai pesawat yang akan ditumpanginya. Hingga setelah menunggu cukup lama Mauliate bertanya kepada petugas soal waktu keberangkatan pesawat dengan nomor penerbangan JT 1852. Jawaban yang diterima Mauliate justru mengejutkannya. Petugas berkata bahwa tidak ada penerbangan Lion Air tujuan Lombok. Tiket pesawat tersebut berlaku untuk penerbangan Wings Air. “Pesawat Lion Air (Tergugat) dengan Wings Air satu grup usaha dan sama saja pak,” dalih petugas ketika Mauliate menuntut penjelasan.
Hal serupa terjadi kembali ketika dirinya hendak kembali ke Bali. Tiket Lion Air yang sudah dibelinya dicoret dan ditulis tangan menjadi penerbangan Pesawat Wings Air. Kadung alami cukup banyak kerugian karena Mauliate harus mengambil penerbangan lain menuju Lombok dan kesepakatan bernilai Rp500 juta tidak dapat dibuat dengan calon kliennya karena terlambat, pria yang berprofesi sebagai advokat ini menggugat Lion Air ke PN Jakarta Pusat.
Hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 441/PDT.G/2013/PN.Jkt.Pst menyatakan Lion Air bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp702,300 kepada Mauliate.
5.
Perlakuan Diskriminatif
Terhadap Penyandang Cacat
Pasal 134 ayat (1) UU
Penerbangan memberikan hak kepada penyandang cacat, orang lanjut usia, serta
anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun agar memperoleh pelayanan berupa
perlakuan dan fasilitas khusus. Lalu bagaimana bila maskapai penerbangan
mengabaikan hal ini?
Seorang pengguna kursi roda, Ridwan Sumantri, berkali-kali diacuhkan kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika hendak melakukan perjalanan ke Bali dari Jakarta, Ridwan yang menggunakan jasa angkutan udara dari PT Lion Mentari Airlines ini datang lebih awal untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah.
Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang pesawat yang awalnya diminta menunggu di GATE A-1 dipindahkan keberangkatannya melalui pintu keberangkatan GATE A-5. Saat itu petugas sibuk mengurusi penumpang yang dengan buru-buru menuju GATE A-5 dan tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain. Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift dan saat itu hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya menuruni tangga.
Tidak hanya itu, setibanya di kursi penumpang dengan cara digendong oleh petugas Lion Air dan disaksikan banyak mata, Ridwan kembali mendapat sorotan sebab ia berdebat dengan pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama penerbangan pada orang sakit. Ridwan yang awalnya tidak bersedia menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit, akhirnya menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi pusat perhatian penumpang lain.
Atas diskriminasi yang terjadi pada Ridwan, Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp25 juta (tanggung renteng dengan PT (Persero) Angkasa Pura II sebagai Tergugat II dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat III). Putusan ini dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 61/PDT/2014/PT.DKI. PT DKI menaikkan nilai ganti rugi menjadi Rp50 juta
Seorang pengguna kursi roda, Ridwan Sumantri, berkali-kali diacuhkan kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika hendak melakukan perjalanan ke Bali dari Jakarta, Ridwan yang menggunakan jasa angkutan udara dari PT Lion Mentari Airlines ini datang lebih awal untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah.
Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang pesawat yang awalnya diminta menunggu di GATE A-1 dipindahkan keberangkatannya melalui pintu keberangkatan GATE A-5. Saat itu petugas sibuk mengurusi penumpang yang dengan buru-buru menuju GATE A-5 dan tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain. Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift dan saat itu hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya menuruni tangga.
Tidak hanya itu, setibanya di kursi penumpang dengan cara digendong oleh petugas Lion Air dan disaksikan banyak mata, Ridwan kembali mendapat sorotan sebab ia berdebat dengan pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama penerbangan pada orang sakit. Ridwan yang awalnya tidak bersedia menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit, akhirnya menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi pusat perhatian penumpang lain.
Atas diskriminasi yang terjadi pada Ridwan, Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp25 juta (tanggung renteng dengan PT (Persero) Angkasa Pura II sebagai Tergugat II dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat III). Putusan ini dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 61/PDT/2014/PT.DKI. PT DKI menaikkan nilai ganti rugi menjadi Rp50 juta
HAK
ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelaktual dibagi menjadi dua
bagian dimana dua golongan besar hak atas kekayaan intelektual tersebut, yakni:
1.
Hak Cipta (
copyright )
Hak cipta yaitu hak
eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni
untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain untuk
memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 ayat 1).
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjuk
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra (Pasal 1 ayat 3)
2.
Hak Kekayaan
Industri (industrial property right)
Yaitu hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik
perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan
pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883
yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi :
-Paten, yakni hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta di
bidang teknologi. Hak ini memiliki jangka waktu (usia sekitar 20 tahun sejak
dikeluarkan), setelah itu habis masa berlaku patennya.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten: Paten adalah hak eksklusif
yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya
(Pasal 1 ayat)
-Merk dagang,
hasil karya, atau sekumpulan huruf, angka, atau gambar sebagai daya pembeda
yang digunakan oleh individu atau badan hukum dari keluaran pihak lain.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek :
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.(Pasal 1 Ayat 1)
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.(Pasal 1 Ayat 1)
3.
Hak atas
Merek
Hak atas merek yaitu hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
Republik Indonesia kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. (Pasal 3).
4.
Hak Desain
Industri
Hak desain industri yakni perlindungan terhadap kreasi dua atau
tiga dimensi yang memiliki nilai estetis untuk suatu rancangan dan spesifikasi
suatu proses industri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri:
Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut.
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi,
atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan
daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan
estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta
dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau
kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1). Hak desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit), yakni perlindungan hak atas rancangan tata letak di dalam
sirkuit terpadu, yang merupakan komponen elektronik yang diminiaturisasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu: Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi
atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan
sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian
atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah
bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi
elektronik.(Pasal 1 Ayat 1).
5.
Desain Tata
Letak
Desain Tata Letak yaitu kreasi berupa rancangan peletakan tiga
dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut
adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit
Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan
pembuatan Sirkuit Terpadu. (Pasal 1 Ayat 2).
Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh Negera Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut. (Pasal 1 Ayat 6).
6.
Rahasia
Dagang
Rahasia dagang merupakan rahasia yang dimiliki oleh suatu
perusahaan atau individu dalam proses produksi.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang:
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di
bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam
kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. (Pasal 1
Ayat 1).
Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul
berdasarkan Undang-Undang ini. (Pasal 1 Ayat 2)
7.
Varietas Tanaman.
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan
Varietas Tanaman,
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah perlindungan khusus
yang diberikan Negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan
pelaksanaannya dilakukan oleh kantor PVT, terhadap varietas tanaman yang
dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (Pasal 1
Ayat 1).
Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan
Negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri
varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan
hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu. (Pasal 1 Ayat 2).
Varietas Tanaman adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau
spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga,
buah, biji dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang
dapat membedakan dari jenis yang sama atau spesies yang sama oleh
sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak
mengalami perubahan. (Pasal 1 Ayat 3).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar